-secuplik kisah abu abu-



Layaknya lembayung yang memayungi senja.

Teduh yang selalu iringi hujan.

Dan bara yang menguatkan api.

Seperti itulah, aku dan kamu, sahabatku..

Satu kesatuan yang saling melengkapi.



***


Putih abu-abu.

Perkenalan. Jabat tangan. Seulas senyum.


Tahun pertama. Mereka mengikatku dengan tali persahabatan.


 Ada banyak hal didunia ini yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seperti halnya suhu di Kota Gadis pada siang hari ini. Entah harus berapa banyak kata banget yang harus aku bubuhkan dibelakang kata panas, agar sesuai untuk menggambarkan bagaimana garangnya matahari membakar Madiun. Aku benar-benar tidak sanggup membayangkan  bagaimana rasanya kalau harus tinggal di Merkurius, planet yang jaraknya paling dekat dengan Matahari. Entah, akan  selegam apa kulitku yang sudah hitam  ini.


 Kemeja putihku sudah lengket, menempel dengan tubuh yang dibanjiri keringat. Dua kancing teratasnya sengaja kubiarkan terbuka. Bukan sok sexy, tapi... oh ayolah, siang ini benar-benar panas dan gerah. Matahari sepertinya memang sedang murka pada manusia, karena pepohonan yang selalu ingin dilihatnya dari atas sana, dienyahkan dari bumi oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab yang hanya mementingkan perut sendiri.


Haah, kalau saja bukan karena keteledoranku sendiri yang menjatuhkan kunci motor, pasti aku akan menolak mentah-mentah jika diharuskan berputar-putar selama hampir satu jam di area parkir seperti ini.


"del, sebenarnya kuncinya hilang atau kamu telan sih ?"Tanya aska yang  sudah berdiri dibelakangku  dengan mengorek-ngorek tempat sampah dengan gagang sapu  ijuk.


"aku malah curiga, kamu yang makan tu kunci." selorohku, menanggapi ucapannya.


" nyerah deh! Udah hampir satu jam kita cari tapi nggak ada hasil. Udahlah mending pulang naik taksi aja yuk!" saran  Aska. Ia menyandarkan  tubuh pada tembok hijau berlumut. Wajahnya sudah kuyu dan penuh  peluh. Dasi abu-abu tergantung serampangan pada kerah kemeja yang tidak pernah ia masukkan. Dengan  jilbab yang tidak karuan pula bentuknya


Aku menghela napas, "Ya udah deh, yuk balik." ujarku, pasrah.


Aku merangkul pundak Aska. Kasihan dia. Sahabatku  ini memang paling tidak tahan dengan panas. Aku  jadi tidak enak sudah merepotkannya.

Hari ini, kami baru resmi menjadi siswa kelas X, setelah seminggu melewati masa orientasi yang seru bersama kakak-kakak OSIS yang 'baik dan manis'. Aku belum mempunyai teman untuk dimintai tolong, jadilah hanya aska yang membantu mencari kunci motorku  yang jatuh, entah dimana.

Kebetulan, kalau  aska, aku sudah berteman dekat dengannya sejak SMP.


 Sekali lagi, aku menenggelamkan  pandangan ke sekelilingku, berharap menemukan benda perak yang aku cari. Tapi memang benda itu tidak ada disekitar sini. Mataku  malah bertumbuk dengan dua manik coklat gelap milik seorang siswa. Jika diperhatikan, siswa bertubuh jangkung itu, sejak  tadi berdiri dibawah  naungan  pohon trembesi yang teduh, tak jauh dari tempatku berdiri. Siswa itu kemudian bergerak menghampiri aku dan Aska. Aska tersenyum tipis, basa-basi agar tidak dikira sombong.


"Kalian cari ini ?" tanyanya, sembari mengangsurkan sebuah kunci berbandul bola basket yang sangat aku kenali.


Mataku berbinar, "Eh iya, itu punyaku." aku menerimanya dengan perasaan lega, "Kamu temuin dimana ? Thanks banget ya." sambungku, riang.


"Tadi pagi pas aku datang,aku lihat kunci itu jatuh, ya udah aku simpan aja. Barangkali nanti ada yang kehilangan, ternyata punya kalian."


"Berarti dari tadi kamu tahu dong, kita kelimpungan nyari tu kunci ? Bukannya dikembaliin dari tadi kek, malah nontonin dibawah pohon, senang ya lihat orang susah ?" gerutu Aska, kesal.


"aku cuma mau lihat, seberapa besar tanggung jawab anak orang kaya, atas barang titipan orang tua mereka." sahutnya, tenang.


 Aku mengangguk paham dengan sedikit nyengir , "Iya ka, yang penting kan udah dibalikkin. Oh iya, kenalin aku candella, panggil aja dela. Kalau ini aska. kamu siapa ?"


 Siswa tadi mengulurkan tangannya, "Sahira. Kita sekelas kok. aku duduk dibelakang kalian berdua."


Aku membalas uluran tangannya, "Oh iya ? Wah nice to know you, saira "

"Jadi ? "tanya sahira punya maksud

" haha oke yes, we are friend. Ayo pulang bareng" senyum aska yang lebih dulu connect dengan maksud sahira ~


*bersambung




Comments

Popular posts from this blog

Filosofi pecel