Public Relations Pasar Bebas
STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENGHADAPI ERA PASAR BEBAS
Oleh I Gusti Ngurah Putra*)
Pendahuluan
Tak lama lagi perekonomian Indonesia akan memasuki era yang sering disebut
sebagai ‘era pasar bebas’. Substansi pasar bebas ditandai dengan adanya
persaingan secara relatif bebas antar-pelaku ekonomi dari berbagai negara pada
tingkat global. Dalam keadaan demikian, perusahaan-perusahaan tidak dapat lagi
melakukan monopoli, tidak ada proteksi dan terhapusnya tarif masuk bagi suatu
barang dari suatu negara yang memasuki pasar negara lain. Perusahaan dan barang
dari suatu negara secara relatif bebas masuk ke negara lain. Barang produksi
dari berbagai negara akan dengan sangat mudah masuk ke Indonesia, begitu juga
barang yang diproduksi di Indonesia akan mudah masuk ke negara lain. Tidak ada
hambatan yang berupa tarif bagi suatu barang untuk masuk ke suatu negeri. Tidak
ada proteksi terhadap suatu produk domestik dari serbuan produk negara luar.
Persoalannya,
benarkah barang-barang yang diproduksi di Indonesia, baik oleh perusahaan multi
nasioal maupun oleh perusahaan nasional akan dengan mudah masuk ke negara lain?
Benarkah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi penerimaan produk yang
dihasilkan perusahaan-perusahaan di Indonesia di manca negara? Bagaimana
strategi public relations perusahaan-perusahaan atau organisasi bisnis di
Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas?
Substansi Public Relations
Banyak
sudah konsepsi tentang public relations yang muncul dalam berbagai teks.
Pengertian yang sederhana, namun dapat memberi substansi kegiatan public
relations yang sebenarnya dikemukakan oleh Grunig dan Hunt (1984). Mereka
mengemukakan bahwa public relations merupakan ‘management communication between
an organization and its publics’. Sebuah organisasi perlu mengelola setiap
kegiatan komunikasi antara organisasi tersebut dengan publik-publiknya dalam
usaha untuk membangun saling pengertian antara organisasi dan publiknya. Dari
sini kemudian dapat diharapkan terciptanya lingkungan bisnis yang menguntungkan
bagi suatu organisasi atau perusahaan. Lingkungan bisnis yang menguntungkan
antara lain dapat berupa konsumsi terhadap barang yang dihasilkan sebuah
perusahaan relatif tinggi; konsumen menerima produk yang dihasilkan perusahaan;
kehadiran sebuah perusahaan tidak menimbulkan masalah sosial pada komunitasnya;
para karyawan perusahaan bekerja dengan produktivitas yang tinggi, dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, sebuah organisasi bisnis mendapat dukungan dari
berbagai publiknya. Jadi dukungan tidak sekadar datang dari konsumen yang
memakai produk yang dihasilkan perusahaan.
Dengan demikian, strategi kehumasan, apakah dalam rangka menghadapi era pasar
bebas atau tidak, mengandung dua unsur utama, yakni kesadaran akan pentingnya
memahami siapa publik suatu organisasi yang harus diperhatikannya dan bagaimana
komunikasi antara organisasi dengan publik yang sudah teridentifikasi dapat
berjalan, sehingga dapat menghasilkan dampak terbentuknya dukungan publik
terhadap keberadaan organisasi.
Jika
konsepsi ini kemudian diterapkan dalam situasi pasar bebas pada tingkat global,
implikasi yang paling nyata terlihat adalah berubahnya jenis publik yang
dihadapi oleh perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Dari kaca mata perusahaan
di Indonesia, era pasar bebas mengubah publik yang mereka hadapi dari publik
pada lingkup domestik menjadi publik dalam lingkup yang global. Sukses tidaknya
sebuah perusahaan akan sangat tergantung kepada dukungan publik global.
Terjadinya perubahan dalam publik yang dihadapi, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Dari segi kuantitas terlihat dari ruang lingkup atau skup publik
yang semakin luas, sedangkan dari segi kualitas terlihat dari sikap publik yang
lebih kritis terhadap organisasi-organisasi bisnis. Pada tingkat global,
terdapat kelompok-kelompok yang sangat kritis membela hak-hak konsumen, membela
lingkungan hidup yang tereksploitasi dan tercemar karena beroprasinya suatu
organisasi bisnis dan munculnya gerakan buruh yang berdimensi internasional.
Proses pengambilan keputusan dalam konsumsi suatu produk tidak semata-mata
dipengaruhi oleh pertimbangan kualitas dan harga barang, tetapi sudah
dipengaruhi oleh bagaimana tindakan dan kebijakan sebuah perusahaan dalam
memproduksi sebuah barang atau jasa. Negara-negara industri maju juga
memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat bagi produk negara lain
yang ingin masuk ke negara-negara mereka. Barang-barang yang diproduksi dengan
cara mengekploitasi buruh, merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan dapat
diboikot oleh kelompok pembela konsumen dan pemerintahnya dapat membuat aturan
yang menolak produk itu masuk dengan alasan produk tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di negara mereka.
Dengan
kata lain dapat dikatakan, hambatan tarif boleh jadi telah teratasi, tetapi
perusahaan - perusahaan di Indonesia yang memproduksi barang untuk pasar global
akan menghadapi publik yang lebih kritis. Publik yang di negara-negara tertentu
mempunyai hak untuk berbicara dan mempengaruhi kebijakan publik yang akan
diambil pemerintah mereka. Mereka adalah publik yang ikut menentukan bagaimana
kualitas barang yang boleh masuk ke negara mereka. Mereka adalah publik yang
secara bebas dapat melakukan kampanye boikot terhadap produk-produk yang
dihasilkan perusahaan di negara lain, termasuk produk yang dihasilkan
perusahaan di Indonesia.
Jika
mengacu pada penelitian L. Grunig (1991) tentang publik yang sangat besar
pengaruhnya pada efektifitas organisasi, maka dapat dikemukakan tiga kekuatan
atau kelompok penekan yang harus diperhitungkan dalam skala global. Mereka ini
adalah kelompok-kelompok yang dapat menghambat kemajuan organisasi bisnis. L.
Grunig mengidentifikasi tiga kelompok penting, yakni para pemegang saham (bisa
berdimensi internasional), para aktivis baik pembela lingkungan hidup seperti
Green Peace dan kelompok pembela konsumen seperti Ralph Nader di Amerika
serikat serta kelompok organisasi buruh (labour unions). Inilah tiga kekuatan
di Amerika Serikat yang menurut Grunig mampu mempengaruhi efektifitas
organisasi bisnis. Bahkan beberapa penelitian memperlihatkan kelompok-kelompok
penekan ini, terutama para aktivis juga menggunakan strategi dan teknik-teknik
kehumasan dalam menunjang dan mencapai tujuan mereka, yakni biasanya berupa
usaha untuk mempenagruhi kebijaksanaan publik yang membatasi sepak terjang
organisasi bisnis. Jika kelompok penekan ini gagal mempengaruhi kebijaksanaan
publik, mereka akan secara aktif menggalang kampanye menolak kehadiran
produk-produk tertentu, baik karena terjadinya penyelewengan hak-hak azasi
manusia (tentu menurut ukuran dan standar mereka), perusakan lingkungan dalam
proses produksi barang tersebut maupun karena standar-standar kesehatan dan
keamanan produk. Salah satu produk yang terkena boikot kampanye jenis ini
adalah sepatu Reebok yang diproduksi di Indonesia. Mereka menganjurkan agar
konsumen tidak mengkonsumi sepatu Reebok buatan Indonesia karena buruh dalam
industri sepatu ini dibayar dengan harga yang sangat murah, sementara harga
sepatu itu relatif mahal. Mereka menyimpulkan telah terjadi eksploitasi
terhadap tenaga kerja di satu sisi dan keuntungan yang berlimpah yang dinikmati
pemilik perusahaan di sisi yang lain.
Ada
kelompok lain yang juga besar pengaruhnya terhadap terbentuknya dukungan publik
maupun penolakan publik terhadap perusahaan maupun produk-produk dari
Indonesia, yakni kelompok wartawan dengan media massanya. Di Amerika sendiri,
menurut penelitian L. Grunig, media bukan kekuatan yang dapat menghambat
efektifitas organisasi, karena perusahaan-perusahaan besar dapat mempengaruhi
kebijakan atau praktek-praktek pemberitaan media massa yang ada. Ini terjadi
terutama karena media sangat tergantung pada pemasukan dari iklan yang umumnya
datang dari perusahaan-perusahaan besar (lihat misalnya Herman, 1995). Namun
demikian, media massa di negara-negara maju seperti Amerika Serikat adalah
media yang secara politis bebas. Dalam konteks ini, mereka tidak memiliki
ketergantungan ekonomis terhadap perusahaan-perusahaan di Indonesia. Media
massa akan menjadi kelompok yang perlu mendapat perhatian serius bagi
perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ingin produknya masuk ke dalam pasar
global yang bebas. Laporan-laporan media massa internasional yang cenderung
menonjolkan sisi negatif baik praktek politik (seperti yang terjadi saat ini di
Indonesia) maupun praktek-praktek bisnis dapat membentuk kesadaran publik yang
kurang mendukung sebuah organisasi. Ini tentu berbeda dengan wartawan media
massa yang dihadapi organisasi bisnis di Indonsia. Sebagian wartawan Indonesia
bekerja pada media massa yang memang dimiliki oleh para pengusaha dan penguasa,
kadang-kadang sekaligus. Sebagian wartawan masih bisa dijinakkan dengan amplop.
Tradisi hubungan media massa dan wartawan dengan dunia bisnis bukan tradisi
dalam konflik kepentingan. Hal semacam ini kecil kemungkinannya untuk dilakukan
terhadap media massa internasional yang sebagian besar berasal dari
negara-negara maju.
Dengan
uraian tersebut, jelaslah jenis dan kualitas publik yang harus dihadapi
perusahaan dan produk Indonesia dalam era pasar bebas. Kelompok tersebutlah
yang harus mendapat perhatian dan bekerja sama melalui kepekaan menangkap
kepentingan-kepentingan kelompok tersebut adalah bagian penting yang perlu
mendapat perhatian dalam menyusun strategi public relations. Merekalah yang
pada dasarnya menjadi kelompok penekan dan sedikit banyak mempengaruhi
kebijakan publik, termasuk kebijakan publik yang berkaitan dengan
standar-standar kualitas barang dan kualifikasi produk yang boleh masuk ke
negara mereka. Singkatnya, barang Indonesia yang masuk ke pasar dunia
menghadapi publik yang lebih kritis, lebih banyak punya pilihan dan ikut
menentukan kebijakan-kebijakam publik.
Perusahaan Indonesia Kini
Bila
era pasar bebas memberi peluang yang sangat besar bagi produk perusahaan-perusahaan
di Indonesia untuk bersaing pada tingkat global dan barang-barang produksi
perusahaan di negara lain dengan bebas juga bersaing di Indonesia, pada era
sebelum pasar bebas perusahaan-perusahaan di Indonesia memperoleh proteksi dan
perlakuan yang sangat istimewa dari pemerintah, sehingga barang dari negara
lain mengalami kesulitan untuk masuk ke Indonesia, karena mereka terkena tarif
yang tinggi yang menjadikan harga barang tersebut sangat mahal dan tidak
kompetitif menghadapi produksi perusahaan Indonesia. Pada situasi demikian,
perusahaan-perusahaan di Indonesia telah menempatkan ‘pemerintah’ dan para
pejabatnya sebagai publik yang paling penting yang telah melindunginya dari
berbagai serangan terutama dari beberapa stakeholdernya seperti kaum pekerja
dan konsumen. Produk perusahaan Indonesia juga terlindungi dari serbuan yang
datang dari mancanegara karena ketentuan tarif.
Implikasi
dari penekanan utama pada hubungan pemerintah, karena pemerintah telah
memproteksi secara berlebihan perusahaan-perusahaan di Indonesia terutama
perusahaan nasional, adalah lemahnya daya saing mereka pada tingkat global.
Perusahaan-perusahaan nasional menjadi tidak dewasa karena mereka terlalu
dimanja oleh pemerintah. Produk maupun perusahaan di Indonesia tidak terbiasa
menghadapi publik yang kritis yang sebenarnya harus dijadikan partner atau
semacam lawan latih tanding dalam usaha meningkatkan kualitas mereka. Tuntutan
publik yang kritis terutama yang muncul dari gerakan konsumen atau dari kaum
buruh biasanya direspon dengan mengundang pemerintah untuk membelanya.
Mendapat
perlawanan dari kaum buruh, para pengusaha Indonesia cenderung menggunakan
tangan-tangan pemerintah, terutama aparat keamanan untuk menyelesaikan
perlawanan tersebut. Kasus Marsinah, misalnya, memperlihatkan secara telanjang
kepada kita akan keterlibatan oknum aparat keamaan dalam meredam kaum buruh
yang gigih memperjuangkan kepentingan mereka (lihat misalnya Laporan Khusus
Prisma, April 1994). Pemerintah bersama DPR sampai saat ini belum berhasil
membela dan melindungi konsumen melalui perangkat UU Perlindungan Konsumen. Ini
sebagai indikasi bahwa pemerintah masih mengistimewakan pengusaha.
Akibat
dari perlindungan yang demikian besar terhadap perusahaan-perusahaan Indonesia
adalah perusahaan di Indonesia menjadi kurang dewasa dan manja. Mereka adalah
perusahaan yang belum siap untuk bersaing secara global dalam pasar bebas.
Mereka tidak memiliki lawan latih tanding yang memadai di dalam negeri sebelum
memasuki pasar global. Situasi seperti ini jelas kurang menguntungkan
perusahaan nasional ketika harus memasuki pasar bebas. Di dalam negeri mereka
akan bersaing dengan barang-barang yang lebih berkualitas yang datang dari
manca negara. Sementara di luar negeri, produk yang mereka pasarkan mendapat
tekanan dari berbagai publik seperti yang sudah teridentifkasi di depan. Ini
semua menjadikan tantangan yang dihadapi perusahaan Indonesia dalam era pasar
bebas pasti sangat berat.
Aspek Komunikasi dan Dukungan
Tindakan
Guna mampu berkomunikasi dengan publik internasional yang sudah
dikemukakan di depan, strategi komunikasi yang akan disusun harus
mempertimbangkan saluran-saluran komunikasi yang digunakan publik sebagai
sumber pembentukan pemahaman mereka terhadap realitas praktek bisnis dan
politik di Indonesia. Saluran komunikasi utama tetaplah harus difokuskan pada
media massa internasional yang sudah ada. Memanfaatkan saluran media massa
internasional secara proaktif adalah salah satu cara untuk mempengaruhi
pemahaman publik internasional terhadap praktek bisnis di Indonesia. Hasil
penelitian Albritton dan Manheim (1985) dan Manheim & Albritton (1984)
tentang usaha-usaha yang dilakukan negara-negara dunia ketiga untuk
mempengaruhi pendapat umum internasional dan melakukan lobi di Washington
dengan menyewa perusahaan public relations internasional sedikit banyak
membuktikan bahwa liputan media massa terhadap negara dunia ketiga menjadi
sedikit lebih netral.
Namun
demikian, perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat telah menciptakan
saluran informasi baru yang begitu banyak, sehingga publik internasional juga
memiliki pilihan saluran komunikasi yang sangat beraneka ragam. Media
interaktif komputer dengan internetnya telah menjadikan aliran informasi begitu
cepat bergulir dari satu bagian dunia ke bagian lain. Saluran demikian ini
ternyata lebih sulit dikontrol dibandingkan saluran-saluran komunikasi
konvensional yang ada. Aturan-aturan yang mengontrol isi media konvensional
tidak begitu gampang diberlakukan untuk media interaktif komputer. Public
relations perusahaan-perusahaan nasional Indonesia mau tidak mau harus secara
proaktif ikut memanfaatkan teknologi informasi baru, bukan saja untuk
menyebarluaskan informasi tentang praktek bisnis mereka tetapi juga untuk melakukan
pencarian informasi dan pemantauan lingkungan bagi masukan dalam usaha adaptasi
perusahaan terhadap tuntutan publik. Organisasi bisnis di Indonesia perlu
memahami apa yang ditulis dalam saluran informasi jalur cepat (superhighways
information) berkaitan dengan praktek bisnis mereka yang mungkin akan
mempengaruhi pemahaman publik internasional terhadap organisasi bisnis di
Indonesia. Perang atau persaingan antar perusahaan dalam pasar bebas tidak lagi
hanya bertumpu pada masalah kualitas dan harga barang, tetapi juga persaingan
untuk membuktikan praktek-praktek bisnis yang dapat diterima secara
internasional. Harga murah tidak menjamin produk dapat bersaing, kalau dalam
proses produksi barang tersebut publik melihat produsen tidak mengikuti
standar-standar produksi yang dapat diterima secara internasional.
Dengan
demikian, berbicara tentang strategi public relations dalam menghadapi pasar
bebas, tidak cukup hanya berbicara tentang publik dan aspek-aspek komunikasi
dalam praktek hubungan masyarakat. Penting juga dipahami bahwa untuk
menciptakan hubungan dengan publik internasional organisasi bisnis nasional
Indonesia harus bertindak dan berperilaku sesuai dengan standar-standar dan
kaidah-kaidah internasional. Mengutip Cutlip, Center dan Broom (1994: 380),
“…public relations problems results from something done, not something said.”
Masalah hubungan masyarakat, baik dalam skala internasional maupun nasional
bersumber pada tindakan dan perilaku sebuah organisasi. Praktek-praktek bisnis
maupun praktek-praktek dalam kehidupan lain yang tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah moral, hukum dan kepentingan publik dengan sendirinya akan
mendapat perlawanan dari publik, internasional maupun nasional. Inilah aspek
penting dalam praktek ‘public relations’ yang sering kurang mendapat perhatian.
Bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku, kaidah-kaidah moral yang
ada dan kepentingan publik yang berkembang adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari strategi public relations.
Catatan Penutup
Berbicara
tentang strategi public relations dalam memasuki era pasar bebas pada dasarnya
berbicara tentang bagaimana seharusnya praktek perusahaan-perusahaan nasional
Indonesia dalam menghadapi publik internasional yang sangat berbeda dengan
publik dalam negeri. Diperlukan kepekaan dalam melihat susunan publik
internasional yang sangat besar pengaruhnya pada praktek organisasi bisnis.
Strategi komunikasi yang akan digunakan harus disusun berdasarkan pemahaman
terhadap karaktersitik publik internasional, saluran-saluran komunikasi yang
ada dan perkembangan teknologi informasi terbaru. Namun demikian, untuk dapat
diterima oleh publik internasional dan untuk memperoleh dukungan mereka
organisasi bisnis di Indonesia harus menyesuaikan tindakan-tindakan dan
praktek-praktek bisnis mereka dengan kaidah-kaidah dan standar-standar prilaku
berbisnis yang dapat diterima secara internasional.
Daftar Pustaka
Albritton,
R. B. & Manheim, J. B. (1985). “Public Relations for the Third World:
Images in the News.” Journal of Communication. Vol.
35:43-59.
Cutlip, S.
M., Center, A. H. & Broom, G. M. (1994). Effective Public Relations.
Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall International.
Grunig,
J.E. & Hunt, T. (1984). Managing Public Relations. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
Grunig, L.
A. (1992). “Strategic Public Relations Constituencies on a Global Scale.” Public
Relations Review, Vol. 18(2): 127-136.
Herman, E.
(1995). “Media in the U.S. Political Economy.” Dalam J. Downing, A. Mohammadi
& A. Sreberny-Mohammadi (penyunting). Questioning the Media: A Critical
Introduction. Edisi kedua, Thousand Oaks: Sage.
Manheim,
J. B. & Albritton, R. B. (1984). “Changing National Images: International
Public Relations and Media Agenda Setting.” American Political Science Review,
Vol. 78:641-657.
“Pasang
Naik Gelombang Pemogokan dan Politik Perburuhan.” Prisma, No 4, April
1994, hal. 48-73.
Comments
Post a Comment