02.00 dini hari. Waktu yang tepat membekukan pikiran.Waktu yang tepat
memperbincangan ego, hati ,pikiran,
logika yang mulai diperdebatkan.Tidak jauh berbeda dengan malam sebelumnya, ditemani
segelas teh dan mie goreng spesial akhir
bulan. Menilik satu persatu rutinitas sebagai bahan lamunan setiap malam. Masih
sama. Rindu kepada yang lalu tetaplah hantu nomer satu. Berputar keras menata
segala rindu dan kalut. Seruputan paling dalam menantang jam dinding yang
terlihat puas. Memberdayakan setiap lakon yang menyadari keber-ada-annya.
Kalut
adalah kepastian, saat tau waktu tak pernah berhenti menunggu istirahatmu. Apalagi tenatng merindu. “secepat apapun, saat –saat istirahatmu aku yang
mendahuluimu.” waktu adalah nomer satu secepat apapun kukebut. Pilihan satu
kukebut tanpa peduli rambu, tentang waktu yang kukejar dengan seribu maut . Dua
kukebut dengan bambu, siaga bertempur sewaktu waktu . Tiga tanpa
kukebut, selamatlah aku. Empat, tanpa kukebut aku semakin jauh.
Disetiap malam yang berbeda, dengan teman yang berbeda. Waktulah yang paling mengutuk, melihatku gaguk meringkuk tak menahu dipoint berapa aku ini menuju.
Disetiap malam yang berbeda, dengan teman yang berbeda. Dari kicau burung, gemericik hujan, aliran sungai, rindukulah yang paling merdu. Dari macetnya jalanan, riuhnya padat kota, maraknya kejahatan yang ada, jiwaku lebih remuk bertalu talu menahan rindu yang terus menumpuk.
Disetiap malam yang berbeda, dengan teman yang berbeda. Dari kicau burung, gemericik hujan, aliran sungai, rindukulah yang paling merdu. Dari macetnya jalanan, riuhnya padat kota, maraknya kejahatan yang ada, jiwaku lebih remuk bertalu talu menahan rindu yang terus menumpuk.
Comments
Post a Comment